Kamis, 06 Januari 2011

Tugas pak Maksum SIP

1. Merakyatkan Industri Oleh:Prof Dr M Maksum
18/12/2010 09:12:10 BAGAIMANA mbangun desa melalui industrialisasi pedesaan yang intisari pemikirannya adalah, bagaimana merakyatkan industri dan mengindustrikan rakyat desa? Tentu adalah sebuah kehormatan, ketika kemudian ditugaskan melakukan eksplorasi lebih lanjut terutama mengingat harkat hidup rakyat pedesaan yang nyaris identik dengan aktivitas ekonomis rakyat tani. Tidak dipungkiri, ketika kata industri terdengar, pikiran publik tertuju pada pengolahan bahan baku menjadi bahan jadi dan setengah jadi, serta terkait dengan rekayasa dan teknolog. Mulai pesawat terbang, pabrik komputer, informatika, HP, mesin dan lainnya yang disebut salah kaprah sebagai industri. Akibatnya, industrialisasi dan masyarakat industri disalahpahami sekadar terkait dengan pabrik, seutas dasi, permesinan, teknisi dan para kuli. Pesimisme muncul manakala kita tunduk terhadap kontaminasi kata industri yang teramat jauh dari pertanian, cangkul dan desa. Pesimisme itu sungguh tidak perlu karena kata industri tidak harus mensiratkan aktivitas pabrik. Industri adalah karakter sosial-kultural dengan pengertian serba cakup sesuai sejarah katanya dari bahasa Latin dengan makna asli: diligent activity directed to some purpose, aktivitas cerdas yang mengarah kepada beberapa kemanfaatan. Mengingat watak tersebut maka pengertian masyarakat industrial mestinya tidak disunat menjadi berkait dengan pabrik, mesin dan perdasian. * Bersambung hal 7 kol 5 Apalagi serta merta melupakan masyarakat tani dan pedesaan, kearifan lokal dan sain rakyat tani. Watak industrial bisa terkait dengan urusan sektoral yang primer sekalipun, seperti pacul, irigasi dan bertani selama berorientasi aktivitas sistematis bagi kemanfaatan ekonomis harapan seperti efisiensi, daya saing dan sejenisnya. Adalah dosa besar dogma ekonomi pembangunan yang melihat pertanian itu tidak industrial dan bahkan indikasi kemunduran negara. Celakanya, dalam belantara dogma menyesatkan itulah bangsa ini sedang terjerembab dan memilih industrialisasi berbasis impor, padat modal dan berteknologi import, yang anti pedesaan dan rakyat tani. Dalam industrialisasi RI, merakyatkan industri dan mengindustrikan rakyat tani mestinya bisa dikedepankan. Karena pada hakikatnya, masyarakat industrial, menurut Prof Gumilar - Rektor UI ditandai suburnya komunitas dengan sensibilitas, nilai, semangat, dan etos kewirausahaan sehingga adaptif dan kreatif merespons dinamika dan logika ekonomi pasar. Sebagai urusan sosiokultural, merakyatkan industri bukanlah mustahil. Kesetimbangan sistem sosiokultural adalah basis rekonstruksi nilai terkait dengan merakyatkan industri dan mengindustrikan rakyat tani. Dalam hal ini, karya intelektual, rekayasa dan teknologi adalah unsur amat penting perangsang industrialisasi, tetapi sekadar perangkat perubahan dan bukan yang terpenting seperti disalahpahami sebagai satu-satunya penentu dan tanda industrialisasi. Mencermati nalar tersebut, kerakyatan dan nasionalisme kita terusik ketika melihat negara terjebak pemanjaan industri berbasis impor tetapi menganaktirikan rakyat tani. Terlebih ketika melihat eksportasi RI didominasi glondhongan kayu, peresan sawit, klathak kakao, tuna segar, getah karet, biji kopi, mentahan mete, dan segala mentahan. Sementara, importasi diwarnai bau sengak starbuck, asinnya garam dapur, manis von houten dan kitkat, dan bridgestones. Fakta itu menunjukkan bahwa krisis industrial dan stagnasi pertanian sungguh sedang terjadi bukan karena faktor teknologis dan kerekayasaan. Akan tetapi, terjadi karena pola pikir para petinggi dan kebijakan ekonomis yang tidak industrial sehingga melepas larinya peluang nilai tambah dan maslahah ke luar negeri, padahal seharusnya bisa terkais melalui industrialisasi rakyat desa dan pengembangan pertanian industrial. Merakyatkan industri dan mengindustrikan rakyat adalah persoalan perubahan sosio-kultural. Oleh karenanya, perjalanan kembali ke pertanian dan penguatan pertanian industrial memerlukan prakondisi berupa segala rangsangan, reformasi insentif dan kebijakan untuk tidak lagi mengekangnya, melalui reforma akses ekonomi secara konsisten sampai kebijakan pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh sektor ekonomi. Sekali lagi, perombakan kebijakan perekonomian nasional memang mendesak. Setelah sekian lama memanjakan industri berbasis import dan gagal total mensejahterakan bangsanya. Dalam posisi inilah komunitas profesi agroindustri hari ini juga harus berhimpun dan bergerak untuk segera mendeklarasikan sikap politik dan optimismenya karena potensi perannya yang sangat menjanjikan dalam pembangunan nasional. Sekaligus meluruskan kiblat pembangunan bangsa dengan gagasan perombakan. (Penulis adalah Guru Besar TIP-FTP UGM, Peneliti PSPK UGM dan Ketua PBNU)-a
2. Agro Industri Oleh : Maksum Magfoedz
08/12/2010 05:17:46 MINGGU ini, sebagai salah satu anggota panel penilai, saya ikut terhibur menyaksikan penyerahan anugerah karya intelektual luarbiasa di Kemendiknas. Sepuluh dari 15 penghargaan diterima intelektual pertanian dengan rincian satu award bidang kreativitas intelektual yang diperoleh kreator MOCAF, Modified Cassava Fluor. Dan 9 awards untuk prestasi pemuliaan meliputi tanaman biofarmaka, sawit, tanaman hias, padi, jagung dan kapas. Malam anugerah itu menunjukkan dengan nyata betapa semangat akademik agraris sungguh sangat luar biasa kemajuannya. Secara teknis mudah sekali dibayangkan bahwa hal tersebut menunjukkan pula kehebatan karya intelektual dan potensi agraris RI dalam produksi dan kreativitas yang tidak pernah kalah dari percaturan global. Mengundang pertanyaan besar ketika realitasnya, kemajuan sektor pertanian belakangan ini justru diwarnai terjebaknya RI terhadap pangan impor, operasi pasar (OP) berbasis beras impor, eksportasi bahan mentah, maraknya kemiskinan sektor pertanian dan pedesaan * Bersambung hal 7 kol 1 dan stagnasinya sektor pertanian dan agroindustri. Semangat pembangunan sektor pertanian sebetulnya telah sedari dini dicanangkan secara politis oleh Bung Karno pada tahun 1952 yang menyebutnya sebagai soal hidup atau mati bangsa. Pernyataan politik itu senyatanya telah memiliki landasan berpijak sejak awal kemerdekaan melalui penempatan sektor pertanian sebagai prioritas pembangunan nasional, yang secara substantif-revolusioner diawali dengan terbentuknya Panitia Agraria Yogyakarta, 21 Mei 1948, sebagai embrio perjuangan dan terumuskannya UUPA, 24 September 1960. Dalam realitasnya, semangat revolusioner anti-imperialisme dan kolonialisme ekonomis tersebut justru terjajah oleh kolonialisasi dan imperialisasi domestik yang bercokol sampai kini, dan mulai mengakar semenjak bangsa ini tersesat dalam industrialisasi non-agro selama beberapa dekade Pemerintahan Orde Baru. Konsekuensi pemanjaan berlebihan terhadap pilihan sektor non-agro secara langsung telah menafikan cita-cita berbangsa, kemajuan dan realitas potensi sumberdaya pertanian dengan segala keunggulan komparatifnya. Kritik kebijakan perekonomian nasional sesungguhnya sudah dari dini terdeteksi ketika arus paradigmatik supra makro menempatkan prioritasi terhadap industrialisasi non-agro berbasis padat modal, teknologi tinggi, bahan baku asing, tenaga terdidik dan tenaga ahli asing, yang semuanya import-based. Semakin jelas ketika terbukti proteksi berlebihan ini ternyata gagal total mendewasakan industri non-agro yang belakangan semakin manja dan super protektif. Pada sisi lain, karena wataknya yang sangat berbeda, pemanjaan berlebihan terhadap import-based industry yang dibangun berlebihan melalui dukungan fiscal, monetary, and trade policies serta segala terapi yang memanjakan, secara dikotomis sekaligus bermakna disinsentif bagi domestic-based industry utamanya agroindustri. Ketidakadilan sektoral inilah penyebab utama stagnasi agroindustri. Keunggulan kompetitif yang mestinya mudah dibangun karena telah dimilikinya keunggulan komparatif, justru dibuntu oleh pemanjaan non-agro. Pada gilirannya, pemanjaan tersebut menyebabkan munculnya ketidakadilan sektoral, kesenjangan ekonomis, ketimpangan dan ketidakberlanjutan pembangunan, serta stagnasinya agroindustri. Dalam mekanisme inilah gagalnya produksi daging dan susu sapi telah terjadi. Begitu pula yang dihadapi oleh petani kedele, industriawan tepung singkong MOCAF, petani tebu, perajin garam dan petani buah. Eksportasi butir kakao, peresan sawit, getah karet dan segala bahan mentah menambah data yang menandai betapa agroindustri mengalami stagnasi. Kemerosotan itu secara simultan berjalan mengiringi kemerosotan kedaulatan ekonomi RI. Keniscayaan empiris mengindikasikan bahwa industrialisasi berbasis impor telah gagal total. Padahal proteksinya telah mengakibatkan agroindustri sebagai kekuatan basis negeri agraris ini justru termarjinalisasi oleh beragam ketidakadilan ekonomi-politik. Kini, sudah waktunya dilakukan perombakan struktural, terhadap kebijakan moneter, fiskal dan perdagangan yang selama ini bias import-based industry dan mengorbankan domestic-based industry, untuk menjadi lebih berkeadilan secara sektoral. Tuntutan keadilan itulah yang dibutuhkan bagi revitalisasi agroindustri. Sama sekali bukan pemanjaan. Perombakan struktural berkeadilan, sudah pasti akan mengubah industrialisasi untuk switch ke agroindustri, karena membuka jerat bagi agroindustri untuk bisa berkembang dan memicu berkembangnya pertanian industrial. Pada gilirannya akan menjadi landasan rekonstruksi perekonomian nasional ketika diinginkan bahwa pembangunan perekonomian negeri agraris menjadi pro petani, berbasis domestik, mensejahterakan rakyat, berkeadilan dan berkelanjutan. (Penulis adalah Guru Besar TIP FTP UGM, Ketua PBNU)-b

3. Efektivitas Operasi Pasar Beras
Oleh: Mochammad Maksum Machfoedz

Menjelang Agustus 2010 eskalasi harga beras kian menjadi dan tidak terselesaikan sepanjang Agustus-September.
Optimisme bahwa harga akan kembali normal secara alamiah selepas Ramadhan-Syawal tidak pernah menjadi kenyataan. Harga tetap saja bertengger tinggi bahkan hingga akhir November. Padahal, sejumlah terapi telah dilakukan, seperti operasi pasar (OP) dan rapelan raskin.
Pemerintah makin gagap menghadapi dampak inflasi tahunan atas kenaikan harga ini. Sayang, pemerintah justru memilih jalan pintas yang memicu kontroversi internal kabinet.
Jalan pintas
Beberapa kebijakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) untuk mengantisipasi krisis perberasan nasional empat bulan terakhir cenderung reaktif, tidak mendasar dan bagai jalan pintas.
Jalan pintas pertama adalah keputusan impor 500.000 ton beras. Ironisnya, putusan terjadi di tengah koor pejabat tentang sukses swasembada dengan surplus 5,6 juta ton beras tahun 2010, sesuai prediksi Angka Ramalan (Aram)-II. Neraca ini diralat Aram-III dengan surplus tahun 2010 sekitar 3 juta ton beras.
Anehnya, meski surplusnya sangat menjanjikan menurut Aram-II dan III, andalan stabilitas ternyata bukan berasal dari perberasan internal, melainkan berbasis impor. Stabilitas berbasis impor bisa disebut sebagai jalan pintas kedua. Seharusnya, dalam kondisi surplus seperti ini, stabilitas dilakukan dengan basis kedaulatan petani internal.
Ketiga, pilihan menugaskan Bulog untuk menggelontor pasar dengan modal beras impor agar harga turun. Disebut jalan pintas karena solusi berbasis impor hanya efektif sementara. Itu pun kalau efektif.
Yang pasti, jalan pintas itu jelas amat merusak semangat usaha tani pada tingkat basis dan telah melupakan realitas lapangan yang menjadi penyebab kemandulan OP, meski sudah ditambah rapelan raskin.
Kemandulan OP
Nalar OP sungguh sangat sederhana. Harga barang tinggi apabila digelontor barang yang sama dalam jumlah sepadan dan berharga murah, akan menurunkan harga barang total.
Kisruh beras kali ini tidak lepas dari teori standar OP tersebut. Tidak ada alasan sama sekali untuk menafikan teori dasar manakala OP beras tidak efektif. Maka, mandulnya OP harus dianalis terkait dengan kualitas dan jumlah.
Pada posisi inilah KIB seharusnya berani menjawab dengan jujur apa yang sebenarnya telah terjadi dalam kemandulan OP.
Untuk kualitas, misalnya, rasionalisasi harapan KIB bahwa raskin akan membantu OP rasanya terlalu berlebihan mengingat banyak kritik kualitas terhadap raskin. Jikalau kritik ini benar, maka kita berbicara barang yang sungguh berbeda. Maka ibaratnya harga barang A naik, yang digelontorkan ke pasar adalah barang B yang tidak dipandang sebagai substitusi. Harga barang A pasti tak bergerak.
Dalam hal jumlah, yang mengundang pertanyaan adalah keterbatasan pengadaan dalam negeri, domestic procurement. Pemerintah beralasan, terbatasnya cadangan menyebabkan kekuatan pasar (market power) OP pas-pasan dan tidak efektif menerjang pasar. Itu pun kalau asumsinya kualitas cadangan OP adalah beras yang sama, yaitu kualitas medium.
Polemik dalam rapat koordinasi penentuan penggelontoran minggu ini yang masih seputar volume produksi riil, kualitas produk dan kuantitas pengadaan, seharusnya diperkaya dengan perlunya kaji ulang validitas Inpres 7/2009 tentang perberasan karena referensi legal ini boleh jadi memang sudah kedaluwarsa karena HPP terlalu rendah dan proporsi HPP tidak masuk akal.
Tanpa mencermati komprehensif realitas sebenarnya, keputusan yang reaktif akan membuahkan blunder OP terhadap keberlanjutan dan keberdaulatan perberasan.
Potensi OP
Dengan OP berbasis impor kali ini, jelas bahwa sistem perberasan nasional untuk ke sekian kalinya dikebiri beras impor dan merosot kedaulatannya. Pada gilirannya, proses pasar karena produk impor ini akan berpengaruh nyata terhadap rasa keadilan petani produsen yang akan merespons dengan kemerosotan semangat berproduksi padi. Terganggunya usaha tani adalah blunder pertama yang mengacaukan keberlanjutan.
Kedua, ketika prinsip FIFO, first-in first-out, diterapkan, hanya ada satu prasyarat, yaitu kompatibilitas kualitas cadangan barang OP dengan beras kualitas medium yang harganya mau diturunkan, agar OP efektif.
Ketiga, jikalau mengingkari FIFO dan OP sepenuhnya memakai beras impor, maka cadangan Bulog yang sudah waktunya dibongkar karena lewat tenggat (overdue) dan sudah susut mutu akan semakin merosot dalam penyimpanan. Pada gilirannya pemanfaatan untuk apa pun, terutama untuk raskin, makin merumitkan kondisi perberasan.
Sungguh perberasan nasional memerlukan pemikiran komprehensif agar tidak selalu jatuh-bangun. Apa boleh buat, beras masih menjadi kunci keberlanjutan dan kedaulatan pangan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar