Kamis, 29 Juli 2010

Cerpen, Sabihisma

SABIHISMA

Alfi tertegun memandangi sosok yang sekarang ada di depannya. Cowok berkemeja kotak-kotak yang wajahnya sangat familiar di matanya. Mengingatkannya kembali ke 5 tahun silam. Tepatnya ketika Alfi duduk di kelas 2 SMA. Yapz, Alfi tak akan pernah melupakan wajah itu. Wajah yang selalu bercahaya dan bersahaja. Wajah yang telah membuatnya bisa mengagumi ciptaan-Nya. Sungguh, dia adalah cowok pertama dan satu-satunya yang pernah singgah dalam hatinya hingga saat ini. Tanpa pernah ada orang yang mengetahui betapa dia bangga ketika bisa melihat wajahnya walaupun itu cuma dari jarak jauh. Alfi menyimpannya rapi di dalam hati. Karena dia tak mau ada orang yang tahu dan menertawakannya. Karena dia adalah adik kelasnya.
‘Seingatku, aku belum pernah berbicara langsung dengannya. Aku hanya memandanginya dari kejauhan dan merasakan kehadirannya. Ingin rasanya menyapa, menanyakan kabar ataupun hanya ber-say hello tetapi itu gak mungkin, karena dia adalah adik kelasku yang notaben banyak disukai oleh para pemujanya. Sedangkan aku, hanyalah seorang kakak kelas yang biasa-biasa saja. Wajahku gak cantik begitu juga dengan prestasiku, semuanya serba biasa. Tidak seperti dia yang sungguh merupakan sosok cowok sempurna.’
‘Kalian tahu bagaimana hatiku berkenalan dengannya? Tentunya bukan karena aku melihat wajahnya terus jatuh hati karena terpedaya oleh wajahnya yang tampan tetapi ini lebih hebat dari pada ‘cinta pada pandangan pertama’. Ini ku sebut sebagai ‘cinta pada pendengaran pertama’.
Di saat pulang dari membuat Mading, Alfi ‘jatuh cinta pada pendengaran pertamanya’ di Musholla Baiturrahman. ‘Sabihisma’ itu adalah nama yang dia berikan pada cowok itu, karena tak tahu siapa namanya. Alfi jatuh hati saat sholat Magrib berjamaah. Dia mendengarkan dengan jelas surat yang dibawakan oleh imam. Surat Al A’laa. Sungguh hatinya runtuh mandengar dia membacakan surat itu, ini adalah kala pertamanya Alfi menangis saat shalat magrib. Betapa bagus lafal dan tadjwid sang imam hingga dapat membuatnya begitu merasakan betapa indahnya ayat-ayat Allah. Hingga saat selesai shalat, Alfi melihat wajah sang imam. Saat itu Alfi tak tahu jika dia adalah adik kelasnya. Alfi menyangka dia adalah alumni, karena belum pernah melihat wajahnya, apalagi mengetahui namanya dan Alfi pun memutuskan memberi nama padanya ‘Sabihisma’ (Bunyi ayat pertama dari Surat Al ‘Alaa).
‘Suatu hari aku tak sengaja mengetahui namanya saat sahabatku Ari memanggilnya. Namanya adalah Rifai. Kemudian lambat laun aku mengetahui namanya adalah Kusna Rifai, adik kelasku satu tingkat yang banyak di idolakan oleh teman-teman sebayanya apalagi adik kelasnya saat SMP’.
‘Setelah mengetahui semua tentang Sabihisma, berbagai kebetulan terjadi, di antaranya adalah ketika kegiatan Pensi sekolah berlangsung. Seperti biasa, aku tak berminat mendengarkan band-band yang notabone menyanyi dengan gaya dan suara yang menurutku ‘norak’ karena membuat kepalaku nyut-nyut. Jadi aku memilih berada di dalam kelas. Namun, sayup-sayup aku mendengar ada seorang yang menyanyikan lagu ‘Laskar Pelangi’ dengan diiringi gitar. Merdu sekali suaranya. Aku pun tak sadar berlari keluar kelas mendekati panggung, ingin melihat siapa yang menyanyikan lagu itu. Dan ternyata ‘aku kembali jatuh cinta pada pendengaran ke dua ku’, yang menyanyikan lagu itu adalah Sabihisma. Hm, aku termenung sejenak kenapa hal ini bisa kebetulan’.
‘Tidak hanya itu, ketika aku mengikuti lomba mading dan berhasil mendapatkan juara ke dua, aku maju ke depan untuk menyerahkan piala yang ku dapat kepada Bapak Kepsek. Dan lagi-lagi sungguh kebetulan, ‘Sabihisma’ berada di sampingku menyerahkan piala juara pertama lomba ‘mading’ (lomba yang sama dengan diriku) yang di adakan di universitas yang berbeda dengan tempat aku lomba. Hatiku benar-benar dag dig dug berdiri di sampingnya’.
‘Dan ini adalah kebetulan terakhir yang aku dapati. Ketika itu anak kelas satu dan dua mendapat tugas mata pelajaran komputer membuat ‘Undangan Pernikahan’ guna sebagai syarat naik kelas. Saat aku akan mengumpulkan undangan yang telah aku buat bersusah payah, aku bertemu Sabihisma di depan pintu lab. computer tanpa aku bisa menyapa. Guruku sedang sibuk, sehingga aku disuruh meletakkan tugasku di meja. Dan apa yang kulihat! Undangan yang Sabihisma buat, mempelai perempuanya bernama ‘Rawinawang Alfiah’. Tahukah, itu adalah nama lengkapku! Entah dia sengaja atau hanya kebetulan. Dan Undangan yang aku buat mempelai laki-lakinya adalah ‘Kusna Rifai’. Semoga Bu Ujik selaku guru mata pelajaran computer tidak menyadari itu. Betapa malunya diriku jika sampai ada yang tahu’.
“Permisi, Al!” Cowok yang ada di depannya membuyarkan segala kenangan yang tak sengaja telah terbongkar karena kehadirannya.
“Eh,, iya!” Alfi menjawab sapaannya dengan agak salah tingkah. Kemudian cepat-cepat Alfi menata hatinya kembali.
‘Aku sadar jika dulu adalah dulu dan sekarang adalah sekarang. Tapi kenapa dia bisa tahu namaku. Apa mungkin dulu dia sudah tahu namaku’. Hah! Kembali Alfi mencoba menata hatinya yang penuh tanda tanya. Dan dia sadar jika sedang memakai tanda pengenal di bajunya.
‘Hm kenapa juga di destro ini harus pake tanda pengenal segala kaya di swalayan-swalayan aja! Hah, biar kelihatan agak matching plus biar terkenal, kata temenku Dito, yang mempunyai nih distro. Ada-ada aja si Dito ini!’
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya Alfi padanya.
“Iya nih, aku pengen beli baju buat cewek tapi aku gak tahu selera cewek! Kamu bisa bantuin gak?” Tanya Rifai sambil memilah-milah baju.
“Hm, cewek kamu itu orangnya gimana?” Tanya Alfi padanya. ‘Sebagai pelayan aku harus professional. Aku gak boleh melibatkan perasaan dalam bekerja. Wuih, padahal aku udah cemburu berat. Karena di sini aku sedang bekerja, walaupun bekerjanya cuma hari ini doang sih! Soalnya hari ini aku harus gantiin Linda yang sedang ada ujian di kampus’.
“Ya, gimana ya! Dia itu orangnya sederhana gak suka macam-macam! Dan sepertinya dia itu orangnya simple!”
“Hm, gitu ya! Mungkin yang ini lebih cocok untuk cewek kamu itu!” kata Alfi sambil menyerahkan gaun pesta yang sangat simple dan gak ribet namun terkesan anggun jika dipakai.
“Oh iya! Ukurannya apa, S, M, atau L?” Tanya Alfi kemudian.
“Hm, pa ya! Aku gak tau, postur tubuhnya seperti kamu! Kalau kamu ukurannya apa?” Tanya Rifai.
“M” jawabku singkat.
“Oh, ya udah aku ambil yang M aja kalau gitu! Eh, iya menurut kamu warnanya bagusan yang mana yang biru atau merah?”
“Loh kok malah jadi aku yang disuruh milih terus!”
“Hahaha, soalnya ini adalah kali pertamanya aku beliin baju cewek! Hehehe…!” jawabnya sambil tertawa.
“Hahaha,,, gitu ya! Pasti spesial banget tuh cewek!” Alfi tertawa garing karena di dalam hatinya sudah tumpah ruah kecemburuannya.
“Iya special banget lah! Eh trus bagusan yang mana nih, biru atau merah?” tanyanya sambil tersenyum.
“Hm, kalau aku yang di kasih sih aku pilih yang biru!”
“Hm, gitu ya! Oke aku ambil yang biru aja! Sekalian dibungkus ya Al!” Rifai menyuruh Alfi seakan dia sudah kenal akrab. ‘Padahal biasanya kalau pelanggan menyuruh pelayan itu bukannya bilang ‘Mbak’! Ah, entahlah!’
“Oke!”. Aku membawa baju itu! Baru pertama ini Alfi bisa bicara langsung dengannya. ‘Memang benar kali ya! Kata novel-novel, kalau cinta tuh gak harus saling memiliki. Tapi! Aku pengen memilikinya. Betapa beruntungnya cewek yang diberi gaun itu! Seberapa spesialnya sih tuh cewek! Aduh aku kembali berandai-andai lagi’.
***
“Thanks ya Al! Kemarin udah mau gantiin aku jaga toko! Btw, kalau nanti sore kamu jagain lagi gimana? Soalnya aku ada perlu! Please ya Al! Cuma dua jam aja deh! Dari jam enem sampai jam delapan!” kata Linda memohon.
“Emang kamu mau kemana Lin?”
“Kemana ya! Kencan ama Rusli! Sekarang kan hari Sabtu!”
“Hah, ogah banget aku gantiin kamu! Enakan kamu, susahan aku dong lo kaya gitu!” jawab Alfi sambil agak sewot.
“Yah, Al! Demi persabahabatan! Oke! Lagian kamu kan lum punya cowok! Itung-itung sambil cari cowok di toko. Sapa tahu aja ada cowok yang bisa buat hati kamu kecantol! Hahaha…” kata Linda.
“Nggak, sekali nggak ya tetep nggak!” jawabnya sambil mencari-cari kunci mobil yang tadi dia taruh di tas.
“Nyari apa Al? Pasti ini kan!” Linda memberikan sebuah kunci.
“Heh, tahu aja!”
“Yeh, kebiasaan tuh! Kalau punya barang suka lupa naroh!”
“Iya. Iya Non! Besok lain kali pasti gak akan lupa lagi deh! Heheheh, tapi kapan ya aku gak amnesia hahhahaha!” jawabnya sambil ngloyor pergi meninggalkan Linda.
“Aku duluan ya!” teriak Alfi.
“Yoi”. Jawab Linda. Hari ini Alfi ada kuliah sampai jam lima sore. Hampir tiap hari Alfi pasti pergi ke Distronya Dito. Entah itu hanya sekedar menemani dan ngobrol dengan Linda ataupun hanya sekedar menghabiskan waktu. Kalau pun, hatinya sedang benar-benar berantakan dia memilih pergi ke laut. Yapz, kalau sudah memandangi laut! Dia selalu menjadi tenang karena dia yakin jika ombak-ombak di lautan menanggapi apa yang selalu dia keluh-kesahkan ke padanya dengan deburan ombak yang mengalun riuh.
‘Itung-itung demi persahabatan!’ Alfi memutuskan untuk ke distro, niatnya sih gantiin Linda. ‘Daripada ngganggur di kost! Mendingan jaga distro, ya nggak!’.
“Koran Neng!” kata penjual koran sambil mengetuk-ngetuk kaca mobil Alfi di lampu merah..
“Kompas Bang!” katanya sambil menyerahkan uang seribuan.
‘Deg!’ tak sengaja ketika Alfi membuka kaca mobil, dia melihat Rifai sedang berduaan dengan cewek di depan Restaurant. Sumpah! Hatinya kacau banget! Padahal dia tahu, dia bukan siapa-siapanya. ‘Tapi, aku gak tahu kenapa? Rasanya hati ini benar-benar hancur!’. Karena perasaannya yang tiba-tiba bad mood Alfi pun memutuskan untuk pergi ke laut.
Di laut, seperti biasa ketika ada masalah, dia bercerita ke laut, sambil memandang hampa laut yang tanpa batas. Setelah capek, dia akan termenung, merenungi semua apa yang telah terjadi hingga dia merasa benar-benar tenang.
“Hei, kenapa harus Rifai yang aku cinta!”
“Kenapa laut? Kenapa!”
“Kenapa hanya dia yang selalu menguasai hatiku!”
“Kenapa?”
“Jawab laut!”
“Kenapa kau harus hadir di dalam hatiku lagi!”
“Why?”
Setelah menumpah ruahkan segala apa yang dia rasakan. Kemudian dia merenungkan kenapa dia harus sedih! Kenapa dia harus cemburu! Cowok yang dia pikirkan mungkin tak tahu jika telah membuat hatinya sedih! Dia sadar jika ada yang salah pada dirinya yaitu karena dia terlalu menyayangi cowok itu.
Hatinya telah tenang! Kemudian dia beranjak menuju mobil. Di depan mobil, dia melihat seseorang.
“Sabihisma!”
‘Kenapa dia berdiri di mobilku! Belum puaskah dirimu membuat hatiku kacau balau!’ Hatinya Alfi yang semula telah tenang kembali marah. Dia marah pada dirinya sendiri karena tak bisa mengontrol matanya untuk tidak menangis.
“Al!” kata Rifai.
“…..” Alfi hanya diam sambil terus berjalan membuka pintu mobilnya.
“Maafkan aku Al, jika telah membuatmu menangis!” katanya kemudian.
“…….” Alfi masih diam. Namun, dia terdiam sesaat melihat wajah Rifai yang terlihat serius.
“Aku sudah tahu semuanya! Aku mendengar semua apa yang telah kau ceritakan ke laut! Dan sekarang aku tak akan mengulangi kebodohanku untuk kedua kalinya. So, please Al! terima ini!” kata Rifai sambil menyerahkan sebuah kotak kado bergambar kerang-kerang dan laut.
Alfi masih terdiam, hatinya bingung!
‘Apa maksud semua ini? Kenapa dia bilang tak ingin mengulangi kebodohannya untuk kedua kalinya?’ hatinya bertanya-tanya sembari tak sadar menerima kotak itu dan membukanya.
‘Baju yang waktu itu Rifai beli di distro!’
“Al, kamu lah orang special yang aku maksud! Sudah lama aku mencarimu, 3 tahun aku mencarimu kemana-mana dan baru sekarang aku bisa bertemu denganmu. Mau kah kau menjadi orang special di hatiku?” Tanya Rifai.
Alfi ingat, jika tadi dia melihat Rifai sedang berduaan dengan seorang cewek di Restoran. Berarti dia hanya bohong untuk apa yang dia ucapkan. Namun, seperti seorang ahli nujum, Rifai bisa membaca pikiran Alfi.
“Mungkin, kamu berpikir aku membohongimu! Aku tahu, pasti kamu tadi melihatku sedang bersama seorang cewek di pinggir jalan! Dia bukan cewekku Al! Percayalah, dia adalah adikku! Serta merta dia memperlihatkan foto keluarga yang dia simpan dalam dompetnya.
“Percaya kan Al!” Alfi hanya bisa mengangguk dan tersenyum.
“Al, coba kamu ambil gaun itu!” kata Rifai.
Alfi pun mengambil gaun itu dari kotak dan didapatinya sebuah undangan pernikahan. Undangan yang sama persis seperti undangan yang dia lihat lima tahun lalu.
“Aku telah menyimpan perasaanku ini lebih dari lima tahun! Dulu aku menyesal karena tak bisa mengungkapkan perasaan ini hanya gara-gara aku takut, jika kamu menolakku! Karena aku adalah adik kelasmu!”
“Namun, aku sekarang memberanikan diri untuk mengajakmu menikah! Maukah kau menikah denganku Al?”
Hening sejenak! ‘Menikah....... ‘ Alfi bingung mau menjawab apa namun terlontar dari bibirnya tanpa sadar jika dia mengiyakan.
“Iya!”
“Namun, dengan satu syarat!” jawab Alfi kemudian.
“Apa itu!”
“Please nanti habis ini, kita mampir di masjid dan sholat magrib berjamaah. Kamu yang jadi imam dan bacakan Surat Al ‘Alaa!”
“Kenapa harus Surat Al’ala?”
“Karena.... entahlah! Kamu hafal kan?”
“Oke!” Alfi dan Rifai pun sholat berjamaah dan Rifai membacakan surat Al ‘Alaa. Sungguh indah sekali suara itu, persis seperti lima tahun yang lalu. Sabihisma. Terima kasih ya Allah Kau telah mempertemukan jodohku.