Kamis, 06 Januari 2011

sabihisma

Aku tertegun memandangi sosok yang sekarang ada di depanku. Lelaki berdasi yang tampangnya sangat familiar di mataku. Mengingatkanku kembali ke 10 tahun silam. Tepatnya ketika aku duduk di kelas 2 SMA. Yapz, aku tak akan pernah melupakan wajah itu. Wajah yang selalu bercahaya dan bersahaja. Wajah yang telah membuatku bisa mengagumi ciptaan-Nya. Sungguh, dia adalah lelaki pertama dan satu-satunya yang pernah singgah dalam hatiku hingga saat ini. Tanpa pernah ada orang yang mengetahui betapa aku sungguh bangga ketika aku bisa melihat wajahnya walaupun itu cuma dari jarak jauh. Aku menyimpannya rapi di dalam hati. Karena aku tak mau ada orang yang tahu dan menertawakanku. Karena dia adalah adik kelasku.
Seingatku, aku belum pernah berbicara langsung dengannya. Aku hanya memandanginya dari kejauhan dan merasakan kehadirannya. Pernah saat dia sakit, diriku merasa hampa karena lama tak bisa melihatnya. Dan aku sedikit kehilangan semangat yang selalu terpancar dari wajahnya ketika dia sembuh dari sakit. Ingin rasanya menyapa, menanyakan kabar ataupun hanya ber-say hello tetapi itu gak mungkin, karena dia adalah adik kelasku yang notaben banyak disukai oleh para pemujanya. Sedangkan aku, hanyalah seorang kakak kelas yang biasa-biasa saja. Wajahku gak cantik begitu juga dengan prestasiku, semuanya serba biasa. Tidak seperti dia yang sungguh merupakan sosok cowok sempurna.
Kalian tahu bagaimana hatiku berkenalan dengannya? Tentunya bukan karena aku melihat wajahnya terus aku jatuh hati karena terpedaya oleh wajahnya yang tampan tetapi ini lebih hebat dari pada ‘cinta pada pandangan pertama’. Ini ku sebut sebagai ‘cinta pada pendengaran pertama’.
Di saat pulang dari membuat Mading, aku ‘jatuh cinta pada pendengaran pertamaku’ di Musholla Baiturrahman. ‘Sabihisma’ itu adalah nama yang aku berikan pada cowok itu, karena aku tak tahu siapa namanya. Aku jatuh hati saat sholat Magrib berjamaah dan aku berada dalam shaf paling depan (tidak ada sekat antara ikhwan dan akhwat) sehingga aku dapat mendengarkan dengan jelas surat yang dibawakan oleh imam. Surat Al A’la. Sungguh hatiku runtuh mandengarkan dia membacakan surat itu, ini adalah kala pertamanya aku menangis saat shalat magrib. Betapa bagus lafal dan tadjwid sang imam hingga dapat membuatku begitu merasakan betapa indahnya ayat-ayat Allah. Hingga saat selesai shalat, aku melihat wajah sang imam. Saat itu aku tak tahu jika dia adalah adik kelasku. Aku menyangka dia adalah alumni SMA ku, karena aku belum pernah melihat wajahnya, apalagi mengetahui namanya dan aku pun memutuskan memberi nama padanya ‘Sabihisma’ (Bunyi ayat pertama dari Surat Al ‘Ala). Setelah kegiatan sanlat selesai aku jadi sering melihat dirinya, ternyata dia tidak hanya aktif di Rohis namun juga OSIS dan Tonti. Dan aku tak sengaja mengetahui namanya saat sahabatku Ari memanggilnya. Namanya adalah Arif. Kemudian lambat laun aku mengetahui namanya adalah Lukmawan Arif Rifai, adik kelasku satu tingkat yang banyak di idolakan oleh teman-teman bahkan adik kelasnya saat SMP.
Setelah mengetahui semua tentang Sabihisma, berbagai kebetulan terjadi di antaranya adalah ketika kegiatan Pensi sekolah berlangsung. Seperti biasa, aku tak berminat mendengarkan band-band yang notabone menyanyi dengan gaya dan suara yang menurutku ‘norak’ karena membuat kepalaku nyut-nyut. Jadi aku memilih berada di dalam kelas. Namun, sayup-sayup aku mendengar ada seorang yang menyanyikan lagu ‘Laskar Pelangi’ dengan hanya di iringi gitar. Merdu sekali suaranya. Aku pun tak sadar berlari keluar kelas mendekati panggung, ingin melihat siapa yang menyanyikan lagu itu. Dan ternyata ‘aku kembali jatuh cinta pada pendengaran ke dua ku’, yang menyanyikan lagu itu adalah Sabihisma. Hm, aku termenung sejenak kenapa hal ini bisa kebetulan.
Tidak hanya itu, ketika aku mengikuti lomba mading dan berhasil mendapatkan juara ke dua, aku maju ke depan untuk menyerahkan piala yang ku dapat kepada Bapak Kepsek. Dan lagi-lagi sungguh kebetulan, ‘Sabihisma’ berada di sampingku menyerahkan piala juara pertama lomba ‘mading’ (lomba yang sama dengan diriku) yang di adakan di universitas yang berbeda dengan tempat aku lomba.
Dan ini adalah kebetulan terakhir yang aku dapati. Ketika itu anak kelas satu dan dua mendapat tugas mata pelajaran komputer membuat ‘Undangan Pernikahan’ guna sebagai syarat naik kelas. Saat aku akan mengumpulkan undangan yang telah aku buat bersusah payah, aku bertemu Sabihisma di depan pintu lab. computer tanpa aku bisa menyapa. Saat itu guruku sedang sibuk, sehingga aku disuruh meletakkan tugasku itu di mejanya. Dan apa yang kulihat! Undangan yang Sabihisma buat mempelai perempuanya bernama ‘Rawinawang Alfiah’. Tahukah, itu adalah nama lengkapku! Entah dia sengaja atau hanya kebetulan. Dan Undangan yang aku buat mempelai laki-lakinya adalah ‘Lukmawan Arif Rifai’. Semoga Bu Ujik selaku guru mata pelajaran computer tidak menyadari itu. Betapa malunya diriku jika sampai ada yang tahu.
“Permisi, Al!” Laki-laki yang ada di depanku membuyarkan segala kenangan yang tak sengaja telah terbongkar karena kehadirannya.
“Eh,, iya!” aku menjawab sapaannya dengan agak salah tingkah. Kemudian cepat-cepat aku menata hatiku kembali. Aku sadar jika dulu adalah dulu dan sekarang adalah sekarang. Tapi kenapa dia bisa tahu namaku. Apa mungkin dulu dia sudah tahu namaku. Hah! Kembali aku mencoba menata hatiku yang penuh tanda tanya. Dan aku sadar jika aku memakai tanda pengenal di bajuku. Hm!
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku padanya.
“Iya, saya mau pesan kamar single untuk tiga hari! Kamu Alfiah kan!”. Dia memberi sedikit penekanan pada kata terakhirnya. Seolah-olah dia memang yakin jika nama itu adalah namaku. Aku hanya menjawabnya dengan senyum sambil menyerahkan kunci kamar bernomor 67.
Hatiku lega setelah Sabihisma pergi meninggalkan meja resepsionist.
Aku kembali bekerja dan mencoba melupakan apa yang tadi pagi terjadi. Namun, tiba-tiba aku berandai-andai. ‘Andaikan dia adalah jodohku!’ Hus…. Aku segera menepis pikiran jelekku. Berandai-andai yang tak kan mungkin terjadi. ‘Jodoh itu kan di tangan Allah Al!’ hati kecilku mengingatkanku.
Jam 08.00 pm waktunya aku pulang dari kerja.
Hujan deras mengguyur Kota Yogyakarta sehingga sesaat keramaian akan keriuhan kendaraan di sebrang jalan tertutupi oleh derasnya rintikan hujan di malam ini. Aku sangat merindukan suara rintik hujan yang jatuh dari langit. Iramanya bersautan seakan bertasbih ke pada Sang Pencipta karena telah diberikan waktu untuk turun ke bumi. Hm, tak hanya itu! Aroma khas tanah ketika hujan turun juga sangat aku nanti. Seakan bumi yang telah tua dan mempunyai banyak masalah ini kembali hijau dan subur. Tenang.
Seharusnya, aku sudah sampai rumah. Namun, karena masih hujan aku hanya bisa menunggu. Aku tak berani keluar menembus derasnya hujan dengan sepeda motorku. Jadi aku putuskan menyuruh adikku untuk datang menjemputku menggunakan mobil ayah.
“Assalamualaikum…” aku menelpon adikku.
“Wa’alaikumsalam Mbak!”
“Dek, bisa jemput Mbak sekarang gak! Mbak lupa gak bawa jas hujan!”
“Mbak, masih di hotel?” Tanya adikku.
“Iya!”
“Yapz, tiga menit lagi aku nyampe Mbak!”
“Makasih ya Dek! Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam!”
Aku menunggu adikku sambil memandangi langit yang hitam pekat. Tak ada satu pun bintang yang bersinar. Tak lama kemudian aku melihat mobil ayahku datang. Tapi, ketika aku melihat siapa yang keluar dari mobil itu, aku kaget. Kembali ku cermati mobil itu! Yap. aku yakin itu mobil ayahku. AB 2344 GC. Namun, kenapa yang keluar dari mobil itu adalah Sabihisma! Why? Aku tak habis pikir!
Seperti menjawab kebingunganku, adiku, Dema, berkata, “Mbak, ini temanku. Arif!” adikku mengenalkanku padanya. Ku dapati wajahnya tersenyum melihatku.
“Kalian sudah kenal?” Tanya adikku.
“Udah!” jawab Arif.
Hah! Ternyata dia ingat padaku! Ah, betapa bahagianya diriku! Duh, kok malah narsis.
“Iya kan Al?” Tanya Arif kepadaku.
“Hm, iya!” aku menjawab dengan sedikit salah tingkah.
“Ayo, Dek! Pulang! Ajakku.
“Iya, Mbak!”
“Udah dulu ya Mas Arif! Makasih buat bantuannya!” kata adikku pada Arif.
“Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam!” jawab Arif.
Di mobil sepanjang perjalanan pulang Dema menanyakan tentang Arif kepadaku.
“Mbak, kalau menurutmu Arif itu cowok yang baik nggak?”
“Hm, kenapa kamu tiba-tiba bertanya begitu!”
“Soalnya, aku diajak kerja sama bisnis dengan Mas Arif! Kira-kira dia itu orangnya gimana Mbak! Katanya Mas Arif, Mbak temannya waktu SMA dulu! Pasti tahu Mbak, tahu dong gimana sifatnya Mas Arif?”
‘Teman’. Kapan aku menjadi temannya? Bertegur sapa aja belum pernah! Cuma sebatas kenal doing deh kayaknya!. Hah, jangan-jangan dia tahu bagaimana perasaanku padanya! Oh, betapa malunya diriku kalau begitu!’.
“Gimana Mbak?” Tanya adikku lagi.
“Lho,,, kok Tanya sama Mbak! Aku kan kenalnya dulu waktu SMA! Lagian kamu kan anak Psikologi pasti lebih tahu menilai seseorang dari pada Mbak!” jawabku sekenannya.
“Ah, Mbak kok gitu!”
“Eh, dek ngomong-ngomong kamu kenal dari di mana?”
“Di mana ya!”
“Lho, kok gak di jawab!”
“Mas Arif itu baik ya Mbak, mapan juga lho! Hanya satu yang belum dia peroleh!” adikku diam sesaat. Seakan memberiku waktu untuk bertanya!
“Apa?” Tanya ku
“Istri!”. Jawab Dema sambil tersenyum menggodaku.
Hah, kenapa aku bisa terjebak oleh adikku yang jelas-jelas dari tadi sepertinya memang sengaja meledekku karena di usiaku yang semakin mendekati kepala tiga, aku belum juga mau menikah. 26 tahun. Usia yang cukup dewasa untuk menikah. Aku jadi teringat teman-temanku yang selalu memamerkan anak-anaknya kepadaku dan selalu di ikuti satu pertanyaan. “Kapan Al, kamu nikah?” dan pertanyaan itu selalu aku jawab seperti Agus Ringgo tanpa beban dan sambil tersenyum. “May! May be yes may be no!” Hahaha. Tak hanya teman-temanku yang mendesakku untuk segera menikah. Orang tua ku sangat berharap padaku untuk mau segera menikah. Bahkan sudah lebih dari lima kali Ibuku mengenalkanku pada anak dari teman-temannya. Namun, aku selalu menolaknya dengan berbagai alasan. Rasanya aku yakin, mereka bukanlah jodohku!
Sesampainya di rumah. Aku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar