Kamis, 06 Januari 2011

cerpen tugas

CINTA
TIMES NEW ROMAN


Namaku Maisa Alifah, hampir semua temanku di sekolah memanggilku Mai. Namun, ada juga yang memanggilku Ifah atau Maisa . Tidak menjadi menjadi masalah bagiku, mereka mau memanggilku apa. Seperti kata pepatah, “Apalah arti sebuah nama!” (ciee… sok tua pakai pepatah segala he..he..) Tetapi ibuku berbeda dengan yang lain, dia memanggilku Ipung.
Aku anak SMA kelas X. Tidak ada yang dapat dibanggakan dari diriku. Otakku biasa-biasa saja alias standar, pinter banget ya nggak, bodoh ya nggak juga, pokoknya standar. Bentuk fisikku juga tergolong standar. Kulit sawo matang (atau malah terlalu matang), tinggiku cuma 150 cm, dan rambutku ikal. Di sekolah, aku nggak terlalu menonjol, nggak aktif dalam kegiatan-kegiatan seperti OSIS atau ROHIS. Semuanya yang ada dalam diriku tergolong standar, seperti huruf Times New Roman dalam komputer.
Di umurku yang sudah 16 tahun, aku belum pernah yang namanya berpacaran. Kata teman-temanku sih enak kalau pacaran. “Ada orang yang dapat diajak berbagi dalam segala hal, ada yang memperhatikan, pokoknya enak deh kalau pacaran!” kata teman semejaku. Tapi menurutku pacaran untuk saat ini nggak ada gunanya sama sekali dan hanya akan menambah masalah dan mengganggu belajar. Mungkin, agak naif juga sih aku berkata begitu! Karena aku juga pernah menyukai seseorang yang mungkin bagiku dia adalah a perfect people. Semua kriteria cowok ideal ada pada dirinya, pinter, cakep, aktif dalam berbagai organisasi (ketua OSIS), supel, rajin shalat, humoris dan bla bla, pokoknya he is a perfect people. Tapi, dia sudah mempunyai pacar yang menurutku juga sama-sama perfect, jadilah mereka pasangan yang sempurna. Aku hanya menaruh perasaan ini dalam lubuk hatiku yang paling dalam, karena aku sadar aku adalah Times New Roman yang di mana pun berada tetaplah jadi orang yang biasa-biasa saja. Kadang aku berpikir kalau itu hanya sekedar perasaan kagum bukanlah cinta.
***
“Pung… Pung… bangun! Sudah jam lima lebih, ayo Shalat Subuh dulu nanti keburu habis waktu subuhnya!” Ibu menggedor-gedor pintu kamarku.
“Hm… ya aku udah bangun kok!” kataku masih dengan mata terpejam.
“Cepet sana, ambil air wudhu!”
“He..eh..” Setelah kurang dari dua puluh detik kesadaranku pun akhirnya pulih. Aku pergi mengambil air wudhu dan shalat.
Seperi hari-hari kemarin, setelah bangun, shalat, bantu-bantu ibu sebentar di dapur, mandi, makan, dan berangkat ke sekolah naik sepeda yang nanti dititipkan di terminal dan naik bus sampai sekolah. Setelah bel pulang berbunyi, Shalat Dzuhur, ke perpustakaan daerah sebentar, terus pulang ke rumah. Ngobrol bersama keluarga, belajar, tidur dan yah….kembali lagi ke awal. Hari-hariku juga kulalui dengan membosankan dan lagi-lagi standar Times New Roman.
Namun, hari ini agak berbeda karena aku bisa bangun sendiri jam tiga untuk Shalat Tahajud. Setelah shalat aku membaca Al-Quran, mengerjakan pr dan belajar sebentar. Dan setelah adzan Subuh berkumandang, aku dan keluargaku shalat berjamaah. Aku berangkat sekolah dari rumah pukul 05.35. Padahal sebelumnya aku belum pernah berangkat sepagi itu. Semua temanku pasti akan kaget sekali kalau melihatku berangkat pagi, karena aku terkenal sebagai anak yang paling rajin telat, he…he.. Akan tetapi, mulai hari ini! Yapz, aku berjanji, pada diriku sendiri jika mulai hari ini aku tidak akan terlambat lagi datang ke sekolah. Akan aku buktikan bahwa aku pasti bisa berubah.
“Ternyata lebih enak berangkat pagi ya!” kataku dalam hati sambil terus bersepeda menikmati udara pagi yang masih segar. Di jalan menuju Terminal Srandakan, terminal yang letaknya di daerah perbatasan antara Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul. Di jalanan masih sedikit anak-anak SMA yang berangkat ke sekolah. Baru ada satu anak SMA yang seragamnya sama denganku yang berangkat. Aku tidak begitu tahu, anak kelas berapa? Karena aku yang hanya bersepeda cuma melihatnya dari belakang. Tas ransel biru tua simpel, jaket cokat tua, helm hitam standar, dan motor Tiger dengan nomor AB 4858 L.
“Oh, ada juga to, yang berangkat jam segini?” kataku menggumam sambil menyerahkan sepeda ke tempat penitipan.
“Ya, ada to Mbak!” jawab bapak penjaga penitipan sepeda.
“Kirain kalau berangkat jam segini nanti sampai sekolah nomor satu, eh.. udah ada yang lebih dulu ternyata!”
“Ya, kalau mau nomor satu pakai motor dong Neng!”
“Belum… punya SIM Pak!”
“Owh,,, belum cukup umur ya Neng!”
“He,…he….. Iya nih Pak! Masih kecil!”
“Tapi udah bisa naik motorkan Neng?”
“Udah sih Pak! Kalau besok saya udah naik motor, yang nitip sepeda siapa dong?”
“Iya juga sih Neng!” jawab Pak Jimin penjaga sepeda yang sudah hampir setahun ku kenal dengan tersenyum.
“Mangga Pak, busnya sudah mau berangkat!”
“Mangga…mangga…..!”
***
Sampai di sekolah ternyata masih sepi, seperti belum ada yang berangkat. Mataku cermat mengamati sekolah yang telah hampir setahun memberikan banyak ilmu kepadaku. Dari pintu gerbang yang sudah lebih dari 50 tahun masih berdiri kokoh yang merupakan hasil peninggalan Belanda. Namun, karena dicat ulang menjadi seperti baru, hingga ruang-ruang kelas yang tak pernah aku amati sebelumnya. Dari ruang kelas tiga di lantai bawah yang tergolong sudah berumur lebih dari setengah abad hingga kelasku yang ada di lantai atas yang baru tahun kemarin selesai di bangun.
Di kelas, aku belum mendapati teman-temanku. Dan sepertinya memang aku yang datang paling awal! Aku yakin itu! Tapi aku juga yakin kalau tadi ada anak berseragam sama yang berangkat lebih dulu. Karena iseng nggak ada kerjaan. Aku mau keliling sekolah. Mungkin aja aku menemukan sesuatu yang tak biasa di sekolah ini. Seperti Detective Conan yang selalu menemukan kasus-kasus tanpa sengaja, pikirku iseng. Tapi capek ah, mendingan telepon Risen aja deh, suruh cepet ke sekolah.
“0813285295…..”
“Hallo, Ris dah mau berangkat belum, aku udah di sekolah nih?”
“Hah, ngapain kamu di sekolah jam segini, mau nemenin Pak Tejo bukain pintu atau mau bersihin sekolah? Gila baru jam enam Neng, aku aja baru bangun!” jawab Risen nyrocos.
“He..he… iseng aja mau berangkat pagi, soalnya udah bosen telat melulu. Sekali-kali kan jadi anak teladan, ya… nggak!”
“Alah, paling banter cuma hari ini doang kamu sadar mau berangkat pagi!”
“Kamu itu ya, teman mau berbuat baik kok nggak didukung! Cepet bangun, mandi terus kesini, gak ada teman nih!”
“Ye…khusus hari ini aku mau izin gak masuk, soalnya mau ke Semarang, ada acara keluarga! Jadi mau titip oleh-oleh apa nih?”
“Yah, kok gak masuk sih. Njebelin. Sebagai gantinya nanti aku belikan lumpia yang paling enak ya!
“Ya, udah nanti aku bawain satu kardus deh! Hehe…... Udahan ya, mau mandi dulu nih! Da…. Mai!” Risen menutup telponnya.
Wah, gimana sih! Yang telpon kan aku, kok yang nutup malah dia. Sebel. Eh… kayaknya ada orang main bola?
Siapa tuh, main basket kok pagi-pagi amat. Sendirian lagi. Mai melihat cowok yang bermain basket dari lantai atas. Sepertinya cowok itu asik bermain basket dan tidak sadar kalau sedang diperhatikan oleh seseorang. Tepat pukul 06.25 cowok itu berhenti bermain basket. Dan lima menit kemudian barulah anak-anak SMA 33 mulai berdatangan.
***
Sudah dua minggu aku selalu berangkat pagi. Dan setiap berangkat sekolah, tepat sebelum aku berhenti menitipkan sepeda di terminal, pastilah cowok itu selalu mendahuluiku. Cowok bertas biru tua, jaket coklat tua, helm hitam standar, dan bermotor Tiger AB 4858 L, misterius. Anehnya, saat aku sampai di sekolah, aku hanya melihat satu cowok yang selalu bermain basket selama 15 menit, dan selalu berhenti bermain basket saat pukul 06.25 tepat. Aku selalu mengamatinya dari lantai atas, dan sampai saat ini dia belum pernah memergoki aku melihatnya latihan.
Dia selalu latihan basket dengan kaos putih polos. Dia bermain basket dengan semangat, terpancar dari wajahnya yang terlihat bersinar. Sebelumnya, aku belum pernah melihatnya di sekolah! Apa mungkin dia cowok misterius yang selalu mendahuluiku! Entahlah!
“Mai, udah buat pr matematika belum?” tanya Risen membuyarkan lamunanku.
“Eh.. udah!” jawabku
“Pinjam ya.. no 5 sulit banget, aku udah kerjain tapi gak bisa! Pinjam ya..?”
“Yoi,” jawabku sambil mengambil buku catatan matematika di tas.
“Ngomong-ngomong, akhir-akhir ini kamu udah beneran insaf ya? Kok berangkat pagi melulu! Kirain cuma bertahan paling banter satu minggu. Eh.. ternyata sampai sekarang!” kata Risen sambil menyalin pr.
“Yoi, udah insaf nih! Males dapat omelan guru-guru kalau telat. Aku kan sekarang murid teladan… he..he…”
“Alah, pasti ada alasannya! Ngaku aja deh?”
“Hm.. ya itu tadi, aku udah bosen telat melulu!”
“Oh, gitu ya? Ngomong-ngomong, kamu tahu gak? Kalau ada anak pindahan baru, cowok, katanya sih keren, masuk kelas XI IPS 1?” kata Risen menggebu-gebu.
“Lho emangnya kenapa? Mau kamu makan juga tuh cowok! Inget Non, kamu sekarang kan udah punya Dewa?”
“Eh… niatnya sih bukan buat aku, tapi buat kamu. Lagian kamu tuh ya! Hari gini belum pernah pacaran?”
“Emangnya penting banget ya, pacaran tuh?”
“Ye.. penting banget. Kita bisa saling memberi perhatian, ada yang menghibur kalau lagi sedih, ada yang……”
“Ya…ya… aku percaya! Memangnya kamu udah kenal sama anak baru yang kamu ceritain tadi?”
“Ya jelas udahlah, diakan sekarang satu team basket sama Dewa, tapi cuma pemain cadangan sih! Kalau gak salah namanya Alfin. Kayaknya cocok deh, sama kamu. Soalnya, selain dia suka basket dia juga ngefans banget sama Harry Potter kayak kamu?”
“Beneran Ris, dia suka sama Harry Potter! Udah punya buku seri terakhirnya belum. Kalau udah, pinjemin dong?” Memang tak dapat dipungkiri, kalau mendengar tokoh idolaku disebut pasti aku langsung merespon dengan sebaik-baiknya, karena aku memang suka banget sama Harry Potter. Di kamarku aja udah berpuluh-puluh poster Harry Potter dalam berbagai ukuran, tapi sayangnya aku belum baca bukunya yang seri ke tujuh. Padahal, bukunya sudah terbit tapi ibuku gak mau beliin dan uangku sendiri belum cukup untuk beli buku itu. Jadinya, setiap ada orang yang bicara tentang Harry Potter pasti aku akan tertarik, dan intinya aku pengen banget baca seri terakhirnya itu.
“Yah… kalau bicara tentang Harry Potter aja langsung respon!”
“Biarin, pokoknya kalau kamu ketemu sama siapa tadi namanya, Al.. siapa, aku lupa? Tolong pinjamkan ya… please! Risen kan baik!”
“Yah, pinjam sendiri aja, yang butuh kan kamu bukan aku. Namanya tuh ALFIN!”
“Ye… aku kan gak kenal. Kalau kamu kan udah kenal!”
“Kalau belum kenal ya kenalan dong! Entar aku kenalin deh!”
“Ah, gak usah deh. Kamu aja ya.. yang minjemin, please?”
“Yah, kalau kamu gak mau kenalan ya udah. Males ah, minjamin Harry Potter. Enakan kamu dong! Eit.. apa kamu beneran gak mau kenal sama Alfin!”
“Ngapain kenal sama dia! Apa coba untungnya?” elakku. Padahal sebenarnya aku ingin banget kenalan, siapa tahu dia punya Harry Potter seri terakhir, kan bisa pinjam! Tapi apa boleh buat, aku paling males kalau suruh kenalan sama kakak kelas.
“Awas, kalau besok kamu kepincut sama Alfin!”
“Nggak mungkinlah!” jawabku yakin.
***
Seperti biasa, sepulang sekolah aku selalu pergi ke perpustakaan daerah yang jaraknya kurang lebih setengah kilo meter dari sekolahku. Biasanya aku jalan kaki pergi ke sana. Seperti biasa, jam-jam pulang sekolah banyak pengunjung yang datang. Aku mencari buku yang berjudul Kambing Jantan karya Raditya Dika, katanya sih bukunya lucu banget! “Nah, ketemu juga!” kataku sambil sedikit berjinjit mengambil buku tersebut yang berada di rak paling atas. Eit, ternyata ada orang yang lebih tinggi dariku yang mengambil buku itu. Huh… padahal aku sudah mencarinya dari kemarin. Eh, setelah ketemu malah keduluan orang itu. Tunggu dulu, sepertinya aku kenal sama orang itu. Oh, iya cowok yang suka main basket sendirian itu. Yah, aku yakin itu. Karena gak jadi pinjam buku Kambing Jantan, aku hanya pinjam buku The Lost Boy.
Setelah meminjam buku, aku pun keluar dari perpustakaan. Tapi ternyata di luar hujan lebat. Terpaksa aku menunggu hujan agak reda, karena jarak perpustakaan sampai jalan raya lumayan jauh. Tetapi setelah menunggu selama satu jam hujan tidak kunjung reda. Aku putuskan untuk berlari menembus hujan lebat menuju jalan raya untuk naik bus. Apesnya sampai di jalan raya, bus tidak kunjung datang. Badan sudah basah kuyup. Namun, tasku tetap aku peluk erat-erat agar tidak basah.
“Ayo naik….!” kata seseorang yang gak ku kenal. Bukan saja karena tidak mengenal suaranya, tetapi juga wajahnya yang tertutup helm dan memakai jas hujan.
“Hem….” jawabku karena bingung dan mulai kedinginan kehujanan.
“Ayo, cepetan naik, nanti kamu kedinginan!”.
“Masuk aja ke belakang jas hujanku, daripada kehujanan!
Tanpa pikir panjang lagi aku pun naik ke motornya. Motor yang aku tumpangi melaju di tengah derasnya hujan. Tidak ada percakapan sama sekali. Hanya terdengar deru suara mesin motor melewati jalanan yang licin. Dan tiba-tiba cowok itu buka suara juga.
“Rumah kamu dimana, Mai?” tanya cowok itu.
“Hm…..Jalan Daendeles No 45!” jawabku sambil berpikir, kok bisa tahu namaku sih!
“Kalau kamu….. Rumahnya mana?” tanyaku kemudian.
“Aku…Jalan Daendeles No 05!” jawabnya.
“Hah!!!, jadi kita searah dong! Siapa sih, sebenarnya kamu? Kok tahu namaku!” tanyaku penasaran.
“Namaku…. Alfin!”
“Alfin,… anak baru itu ya…!”
“He..eh”
“Kamu tahu namaku dari mana?”
“Dari Risen! Oh iya, katanya kamu penggemar Harry Potter ya?”
“He..eh, kamu juga kan!”
“Yoi, kamu udah baca buku seri yang terakhir belum. Bagus baget lho?”
“Belum. Emang kamu punya?”
“Iya, aku punya komplit dari seri satu sampai terakhir!”
“Boleh pinjam gak?”
“Boleh aja, kapan-kapan aku bawain!”
“Eh.. belok kanan! Udah sampai. Mampir dulu gak?”
“Makasih, lain waktu aja!” kata Alfin sambil memutar motornya.
“Alfin….. jangan lupa bukunya ya!” teriakku.
Alfin hanya menjawab dengan lambaian tangan dan hilang di tengah derasnya hujan Bulan Desember. Oh iya, aku belum mengucapkan terima kasih dan aku belum sempat melihat wajahnya. Tapi sepertinya ada yang janggal! Apa ya…..? ‘Yah sepedaku masih ada di terminal!!!…..’
***
Pagi ini aku berangkat ke terminal diantar ayah, karena kemarin sepedaku lupa belum diambil. Sampai di Terminal Srandakan, belum ada bus yang mau berangkat. Aku menunggu di depan penitipan sepeda. Tidak seperti biasanya aku belum didahului AB 4858 L.
“Mai, bareng yuk!” kata cowok yang bermotor Tiger AB 4858 L.
“Kamu siapa?” tanyaku bego, karena tidak melihat wajahnya yang tertutup helm hitam standar.
“Aku Alfin, ayo naik!” jawabnya sambil memandangi wajahku yang bingung.
Aku pun naik Tiger AB 4858 L. Ternyata cowok misterius yang selama ini selalu memakai jaket coklat tua itu adalah Alfin.
“Oh, jadi kamu yang selalu mendahului tepat sebelum aku menitipkan sepeda di terminal ya?”
“Kamu selalu memakai sepeda mini biru Five Rams kan!”
“He..eh. jadi kamu juga lihat aku to!”
“Kamu juga merhatiin aku to!”
“Huahaa….ha..” tawa kami pun meledak mengingat semua itu.
Sampai di sekolah Alfin membuka helmnya, dan aku pun tak tahan lagi untuk tidak tertawa melihat wajahnya. Bukan karena wajahnya yang lucu tapi karena ternyata dia adalah cowok yang selalu main basket selama 15 menit dan selalu berakhir tepat pukul 06.25.
“Huaha..ha.” tawaku meledak saat Alfin membuka helmnya.
“Hah… memangnya ada yang lucu di wajahku?” tanya Alfin bingung.
“Nggak, kok. Ternyata selain kamu yang selama ini aku anggap cowok misterius AB 4858 L ternyata kamu juga cowok yang suka main basket dan selalu berhenti tepat pukul 06.25!”
“Ha…ha..” gantian Alfin yang tertawa.
“Lho, kok malah tertawa!”
“Berarti selama ini kamu selalu merhatiin aku dong!”
“Ye.. geer! Tapi aku boleh tanya nggak?”
“Boleh aja, memangnya mau tanya apa?” jawab Alfin.
“Gini, biasanya kan aku selalu melihat kamu berangkat duluan, tapi kok sampai sini kayaknya duluan aku deh! Soalnya aku baru lihat kamu lima menit setelah aku datang. Emang kamu kemana sih?”
“Oh, itu aku Shalat Dhuha dulu di mushola. Mau sholat bareng gak?”
“O.. gitu ya! Ya udah, yuk!”
Selesai shalat aku menemani Alfin main basket. Tidak lagi hanya memandangnya dari lantai atas. Kami pun ngobrol ngalor ngidul. Dari soal sekolah, politik sampai Harry Potter tentunya.
“Eh, katanya kemarin mau bawain Harry Potter, dibawa gak?”
“Bawa dong, kan udah janji. Ambil aja di tas!” kata Alfin yang menyuruhku mengambil sendiri karena dia baru latihan basket. Di dalam tas ternyata juga ada buku Kambing Jantan.
“Fin, kamu udah baca Kambing Jantan-nya belum?”
“Sorry ya, kemarin aku main serobot aja ambilnya di perpustakaan. Soalnya aku juga pengen banget baca, he..he.. Tapi udah selesai kok, kalau mau kamu pinjam?”
“Beneran kamu udah selesai, bagus gak isinya?”
“Isinya gokil abis, sampai bisa bikin perut melilit nahan tawa. Baca aja, rugi kalau gak baca?”
“Ya udah aku pinjam Harry Potter dan Kambing Jantan-nya ya! Besok insya Allah udah aku kembalikan!”
“Udah jam 06.25 nih. Eh, nanti ke perpustakaan daerah gak?”
“Ya iyalah, ada buku yang harus aku kembalikan!”
“Bareng, ya. Nanti pulang sekolah aku tunggu di pintu gerbang!”
“OK. Aku kembali ke kelas ya!”
“Yoi, jangan lupa nanti pulang sekolah ya!” kata Alfin memastikan.
“Oh, iya ada yang kelupaan!”
“Apa?” tanya Alfin.
“Makasih ya, kemarin udah nganter aku sampai rumah!”
“Yoi, sama-sama!” jawab Alfin.
Ternyata ngobrol dengan Alfin menyenangkan juga. Apalgi hobinya sama denganku yaitu membaca. Orangnya humoris juga. Tidak terasa sudah sebulan ini rutinitas hidupku mulai berubah. Hidupku tidak membosankan lagi karena sekarang aku sudah punya pacar. Ya, Alfin menembakku saat pulang sekolah di perpustakaan daerah. Memang lucu juga, mengungkapkan perasaan kok di perpustakaan. Tapi, aku merasa tersanjung karena dia memilih tempat yang tepat, tempat favoritku untuk mengungkapkan perasaanya. Ternyata dia telah memperhatikanku sejak tiga bulan yang lalu saat pertama kali dia melihatku menitipkan sepeda di terminal, tepatnya saat dia baru pertama kali masuk sekolah di SMA 33.
Walaupun, baru beberapa hari kenal dengannya, aku merasa cocok dan nyambung kalau ngobrol dengannya. Karena itu, tidak ada salahnya aku menerimanya. Sekarang, walaupun aku masih berangkat ke sekolah naik sepeda sampai terminal, tapi aku tak lagi menunggu bus. Tetapi menunggu Alfin, dan selalu menemaninya latihan basket. Karena ternyata Alfin sangat ingin bisa masuk team basket inti SMA 33, bukan hanya sebagai pemain cadangan. Aku menyukai Alfin, karena dia mau menerima diriku apa adanya. Ternyata ada juga yang tertarik pada Times New Roman seperti diriku. Mungkin semua orang memandang aku dan Alfin hanyalah pasangan Times New Roman, namun dalam kaca mata kami, di dalam cinta Times New Roman terdapat romansa waktu yang indah yang akan membuat bahagia bagi siapa saja yang ada dalam dimensi ruang cinta Times New Roman tersebut. Seperti halnya dimensi cinta Times New Roman yang sedang kita jalani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar